Bangunan dengan arsitektur tua, khas sekali dibangun dari masanya Belanda, masih berdiri kokoh di pinggir jalanan sampai dengan dekat pantai kota tua dengan karakter warna putih dan abu. Toko-toko tua di pinggir jalan, dominan diisi pedagang-pedagang keturunan China dan Arab, sebagian juga orang lokal yang meneruskan usaha keluarganya. Jika kamu ke sudut kota ini, kamu bisa menyaksikan atmosfer kota saat tahun 70-an: barbershop tua dengan poster jadul dilapisi plastik yang masih terpampang di dinding, salon tua yg masih dikelola chindo lansia yang ahli menata rambut gaya generasi old, toko buku tua yang masih menyimpan koleksi buku-buku entah dari tahun berapa, juga rumah makan legendaris yang bangunannya lama dengan citra rasanya begitu nostalgic.
0 comments
Puskesmas Kota Tua
Published on Monday, 19 August 2024 in
Kota tua saat ini adalah bagian dari kecamatan yang terletak di pinggiran pantai Ampenan yang dihuni berbagai suku di dalamnya: suku bugis menempati Kampung Bugis, suku dari arab menempati Kampung Arab, suku melayu menempati Kampung Melayu, juga penduduk keturunan china yang tidak punya nama kampung khusus di sana. Aku kesulitan bicara bahasa daerah dengan pasien-pasien puskesmas kota tua, karena sampai sekarang pun mereka tidak meninggalkan bahasa ibu mereka. Banyak pendatang naik kapal dari negeri asalnya puluhan tahun yang lalu, kemudian menetap sampai detik ini di kota tua.
Meninggalkan sejarah kejayaan bahari kota tua pada waktu lampau, penduduk pesisir masih tetap banyak yang melaut. Sesekali saat masih pagi, aku ke pesisir pantai menghirup aroma air laut, melihat ikan-ikan yang masih berselimut pasir, cumi menggelepar yang masih menyemburkan tinta, untuk kemudian dibawa ke pasar-pasar di kota tua. Aku sering turun berjalan ke tengah-tengah kampung dengan jalanan sempit sebagai dokter puskesmas kota tua: mengisi kelas ibu dan balita, memberikan penyuluhan, juga mengevaluasi ANC di Posyandu.
Enam tahun yang lalu, aku memilih puskesmas kota tua sebagai tempat mengamalkan ilmu kedokteran, dengan berbagai keunikannya. Bukan karena menyukai laut, tapi karena di kota tua yang luasnya tak seberapa, aku bisa menemukan banyak orang dari berbagai daerah dan negeri di bumi. Aku tahu pada akhirnya langkahku tak akan bisa jauh pergi berlama-lama saat sudah memutuskan ingin jadi ibu rumah tangga pada tahun-tahun pertama, maka aku memilih tempat seperti kota tua yang aku bisa datangi setiap hari. Aku hanya perlu ke kota tua, dan aku bisa bertemu dengan berbagai suku yang berasal dari banyak tempat di Indonesia juga tempat yang lain. Aku bisa bertemu banyak orang dengan dialeg melayu, dialeg bugis, dll. dan yang paling menyenangkan, aku tak pernah repot ke pasar karena keluarga nelayan di kota tua hampir rutin membawakan ikan yang baru ditangkap dari laut ke puskesmas. Konon orang-orang bugis terkenal salah satunya karena ketangguhannya melaut, mereka punya tempat sendiri di pesisir kota tua.
Mendengarkan suara ombak, menghirup aroma pesisir, menyaksikan birunya laut bertemu langit, jadi bukan hal yang sulit saat sudah memilih bekerja di puskesmas yang terletak di ibukota provinsi ini. Aku memahami bahwa, memutuskan jadi ibu rumah tangga dan dokter puskesmas butuh suasana yang baik setiap harinya. Entah bagaimana, rasanya, mudah sekali menjadi “aku”.
Aku merasakan bisa menikmati keseimbangan hidup saat bisa menjadi ibu rumah tangga yang bekerja di puskesmas pesisir. Aku bisa mengamalkan ilmu kedokteran pada pasien tanpa mereka perlu membayar bahkan tanpa perlu memiliki asuransi apapun. Aku bisa memberikan terapi tanpa perlu dalam supervisi siapapun. Aku bisa melakukan penelitian dengan data yang tidak repot didapatkan. Aku pun bisa sharing ilmu dengan dokter internsip yang aku dampingi. Aku bisa update ilmu rutin tanpa perlu membayar. Aku bisa memanfaatkan laboratorium sederhana yang ada. dan yang terpenting aku pun bisa tetap menjadi ibu, menjemput si sulung sekolah, meng-ASI-hi si bungsu, menemani mereka belajar dan bermain, juga selalu bisa di rumah lebih dulu, menunggu kak Fach pulang kerja.
Tapi sepintas, beberapa kali aku berpikir bagaimana jika melanjutkan sekolah saja? Sepanjang dan seluas apapun memikirkannya, jawaban akhirnya selalu “tidak”. Aku merasa, menjadi apapun, dengan karir seterang apapun, tidak ada artinya saat aku tidak bisa jadi ibu yang setiap hari bisa dekat dengan anak-anak. Adakah sekolah yang bisa membuatku tidak sibuk? Setelah sekolah selesai apa aku bisa jadi dokter yang punya waktu banyak dengan anak-anak? Jawabannya jelas tidak. Dalam kepalaku aku berpikir bahwa melanjutkan sekolah artinya aku harus menukar waktu bersama anak-anak.
Apa yang aku cari dengan sekolah? Sejujurnya, aku belum menemukan alasan untuk melanjutkan sekolah.
Iya memang, pendapatan seorang dokter setelah sekolah akan jauh lebih besar, tapi bukan itu yang aku cari. Keberkahan tidak selalu ada dalam keberlimpahan.
Jadi bisa saja aku berhenti jadi dokter puskesmas saat aku menemukan jalan untuk sekolah tanpa harus menukar kedekatan dengan anak-anak. Tapi apa bisa menemukan jalan seperti itu? Entahlah, kalau ada akan kupilih jalannya satu, tapi sepertinya probabilitasnya kecil, tapi Allah Mahatahu tentang besok dan lusa, Allah selalu memiliki skenario terbaik-Nya.
*
Related Posts
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No Response to "Puskesmas Kota Tua"
Post a Comment