Tujuan
primer pengobatan pada pasien heart failure adalah mencegah perburukan fungsi jantung
dengan memperlambat progresi remodelling miokard juga mengurangi gejala-gejala
gagal jantung sehingga memperbaiki kualitas hidup pasien. Untuk tujuan pertama,
pada pasien dapat diberikan ACE inhibitor, misalnya berupa captopril dan beta-blocker berupa
bisoprolol. Untuk tujuan kedua, diperlukan pengurangan overload cairan dengan diuretik.
1. Furosemid
Furosemid atau asam 4 kloro-N-furfuril-5-sufamoil
antranilat merupakan salah satu loop diuretik golongan sulfonamide yang
berkerja dengan menghambat reabsorbsi elektrolit Na+/K+/2Cl- di ansa henle
asenden bagian epitel tebal, baik pada korteks ataupun medula renal. Pada
dasarnya, titik kerja furosemid terletak pada transporter Na+/K+/2Cl luminal
ansa henle asenden, atau dengan kata lain, transporter ini merupakan reseptor
furosemid. Transporter tersebut merupakan protein dengan berat molekul 121 kDa
dengan 12 domain. Furosemid terikat pada domain transmembran 11 dan 12,
sementara domain 2, 4 dan 7 berperan mentranspor Na+/K+/2Cl- yang dikode gen
NKCC2 pada kromosom 2. Berdasarkan studi, diketahui bahwa vasopressin dapat
meningkatkan ekspresi transporter tersebut melalui Gsα yang dapat meningkatkan cAMP sebagai elemen regulator
gen NKCC2 sehingga retensi natrium akan meningkat, yang tentunya juga diikuti
dengan peningkatan reabsorbsi air.
Ekspresi transporter Na+/K+/Cl-, juga dipengaruhi oleh
prostanoid renal, yang ekspresinya dapat ditekan oleh PGE2. PGE2 mengaktifkan reseptor EP3
yang menyebabkan penurunan cAMP sehingga ekspresi transporter juga menurun. Hal
ini menjelaskan efek NSAID yang dapat menyebabkan retensi air dan natrium.
Furosemid
terikat kuat pada albumin serum, yang menyebabkan terbatasnya distribusi obat
ini ke jaringan-jaringan tertentu. Terikatnya furosemid pada albumin menahan
furosemid di dalam plasma dan ditranspor ke renal melalui titik sekresi asam organik di tubulus proksimal dengan sekresi aktif lumen, kemudian mengalir menuju segmen
tebal ansa henle asenden.
Lima puluh persen
furosemid dieksresikan secara aktif menuju urin dan sisanya terikat pada asam glukoronat
di ginjal sendiri. Rata-rata, dosis paruh furosemid diabsorbsi dalam rentang besar (10-100%). Variabilitas
tersebut menyebabkan sulitnya memprediksi berapa banyak furosemid yang dapat
diabsorbsi oleh suatu pasien sehingga perlu eksplorasi dosis dalam rentang luas
pada satu pasien untuk mengetahui dosis oral yang sesuai. Ini berbeda dengan
bumetanid dan torsemid yang secara penuh dapat diabsorbsi. Penelitian yang
membandingkan efektivitas loop diuretik yang dapat diabsorbsi penuh seperti torsemid
dibandingkan furosemid menunjukkan bahwa pada pasien heart failure yang diberikan torsemid, kualitas hidupnya lebih
baik.
Pada
pasien edema dengan heart failure, tidak terjadi malabsorbsi furosemid.
Absrobsinya lambat khususnya pada pasien decomp. Meskipun demikian, jumlah
total yang diabsorbsi sama dengan orang normal.
Waktu
paruh bumetanid berkisar sekitar 1 jam, sementara torsemid 3-4 jam, dan
furosemid sendiri intermediet. Dosis interval furosemid yang diberikan biasanya
melebihi durasi waktu di mana furosemid itu sendiri masih dalam jumlah efektif
pada titik kerjanya. Artinya,
terdapat suatu periode, dimana jumlah furosemid dalam jumlah yang tidak adekuat
pada titik kerjanya. Dalam periode ini, nefron secara cepat mereabsorbsi
natrium, yang disebut dengan “rebound sodium retention” atau “braking”.
Pada
volunteer sehat, injeksi furosemid IV 40 mg dapat mengekskresi 200-250 mEq
sodium dalam 3-4 L urin selama 3-4 jam. Artinya, dapat dismpulkan bahwa
furosemid menyebabkan eksresi urin dengan konsentrasi sodium mencapai ½ normal
salin. Ini penting untuk memperkirakan jumlah sodium yang keluar berdasarkan
volume urin yang diekskresikan (Shankar, S. & Brater, C. 2003, Felker, 2011, Gunawan,
2008 & Dargie, 2011).
2. Resistensi Furosemid
Terdapat
dua bentuk toleransi terhadap loop diuretik khususnya furosemid, yakni akut dan
kronis. Toleransi akut atau “braking”, terjadi saat pemberian loop diuretik short acting seperti furosemid. Awalnya,
memang terjadi natriuresis saat kadar furosemid cukup untuk memblok transporter
Na+/K+/2Cl-. Tapi, setelah lebih dari 6 jam, kadar furosemid turun di bawah threshold.
Hal ini memicu terjadinya lonjakan retensi natrium post diuretik sebagai
kompensasi natriuresis sebelumnya. Jika
intake natrium tinggi (>100mmol/hari), efek diuretik sebelumnya menjadi tidak
bermakna, bahkan keseimbangan negatif natrium dapat terjadi. Hal ini dapat
diminimalisir dengan intake rendah natrium.
Resistensi Furosemid pada Nefron (Jentzer, et al, 2010) |
Berbeda dengan
toleransi akut, penelitian pada tikus membuktikan bahwa terjadi adaptasi
seluler pada pemberian loop diuretik dalam jangka waktu yang lama berupa hipertrofi
dan hiperplasi sel epitel penyusun tubulus kontortus distal pada nefron. Oleh
karena itu, terjadi peningkatan sekresi aldosteron dan peningkatan kemampuan reabsorbsi
natrium yang berobligat dengan air di segmen tersebut sehingga dosis respon furosemid
pun meningkat. Data yang didapatkan secara tidak langsung pada manusia
menunjukkan hasil yang identik dengan data yang didapatkan pada tikus. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa hiperplasi dan hipertrofi tubulus kontrotus
distal yang mengarah pada terjadinya resistensi kronis furosemid pada pasien
yang diberikan furosemid dalam jangka waktu yang lama (Wood, 1998, Jentzer, et
al, 2010 & Bruyne, 2003).
3. Kombinasi Furosemid dan HCT
Pasien
dengan edema-heart failure dapat
mengalami resistensi terhadap furosemid ataupun loop diuretik yang lainnya jika
pemberian dosis tinggi tidak mengurangi volume ECF secara bermakna yang
ditandai dengan tidak berkurangnya edema, hepatomegali, ataupun JVP. Pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang bermakna dengan pemberian furosemid kemungkinan telah mengalami resistensi. Untuk itu, pemberian kombinasi HCT
dipertimbangkan.
Beberapa
kombinasi diuretik memang memungkinkan dalam mengatasi adanya resistensi
terhadap loop diuretik yang dalam hal ini berupa furosemid. Diuretik yang titik
kerjanya di tubulus proksimal mesti dihindari pada pasien heart failure karena
beresiko memicu terjadinya asidosis metabolik. Satu penelitian yang telah
dipublikasi, yang dapat membuktikan efektivitas pemberian kombinasi loop diuretik
dengan spironolakton pada 13 di antara 16 pasien heart failure. Satu pasien
mengalami hiperkalemia (6.6mmol/l) dan azotaemia karena dehidrasi. Dosis yang
diberikan lebih tinggi dari dosis rata-rata biasanya, yakni 100 mg/hari (dosis
rata-rata 25 mg/hari). Meskipun demikian, penggunaan kombinasi dengan spironolakton
tidak direkomendasikan karena penelitian terkait masih terbatas.
Pada
Bruyne (2003) dipaparkan bahwa, terdapat 3 penelitian yang membuktikan bahwa
kombinasi dengan tiazid, yang dalam hal ini berupa HCT efektif dalam
menimbulkan diuresis pada pasien yang sebelumnya telah mengalami resistensi
furosemid. Pemberian 25mg HCT terbukti sangat efektif pada pasien dengan CHF
berat yang telah mengalami resistensi furosemid. Hipertrofi dan hiperplasi sel
epitel tubulus kontortus distal menyebabkan peningkatan efektivitas HCT sendiri
yang memblok simporter Na-Cl pada tubulus tersebut. Kemampuan furosemid memblok
25% sodium menjadi optimal ditambah dengan kemampuan HCT memblok 5-10% sodium.
HCT memang memiliki efek natriuretik yang lemah sehingga tidak bisa diberikan
sebagai monoterapi pada pasien dengan CHF kelas III-IV. Kombinasi keduanya
terbukti memiliki efek sinergis yang efektif mengatasi edema pada pasien heart
failure.
Penambahan
HCT pada regimen loop diuretik meningkatkan ekskresi NaCl melalui beberapa
mekanisme. Memang HCT tidak dapat memiliki efek tertentu yang mengubah
farmakokinetik ataupun bioavailabilitas furosemid. Akan tetapi, waktu paruhnya
yang lebih lama dari furosemid berperan mencegah terjadinya retensi NaCl post diuretik yang dapat timbul pada terapi dengan loop diuretik
tunggal seperti furosemid, bumetanid, ataupun torsemid yang kadarnya mulai
berkurang rata-rata setelah 6 jam. Sementara reabsorbsi NaCl di loop of Henle ditekan
furosemid (Feldman, 2006 & Jentzer,
2010).
Pada
penelitian sebelumnya oleh Dromans dan Gerlag (1996) juga membuktikan bahwa
terdapat sinergisme bermakna antara furosemid dan HCT dalam menimbulkan
diuresis. Penelitian dilakukan pada 20 orang subyek yang merupakan pasien CHF
NYHA III-IV yang mengalami edema dengan massa >5kg dan resisten terhadap
furosemid. Pemberian 25-100mg HCT pada subyek selama 3-12 hari menunjukkan
perbaikan yang bermakna meskipun pada pasien dengan gangguan ginjal. Kadar
kreatinin clearence endogen rata-rata
menurun (meskipun tidak bermakna) dari 32.7 ml/min menjadi 27.6 ml/min. Adapun
efek samping yang paling banyak muncul pada subyek penelitian ini ialah
hipokalemi.
Sebelum
kombinasi HCT dan furosemid diberikan, dijelaskan pada Bruyne (2003) ada
beberapa hal yang dapat diupayakan pada pasien dengan CHF refrakter, pertama
meningkatkan dosis furosemid. Furosemid merupakan asam organik yang mencapai
lumen tubulus melalui sekresi dengan transporter anion organik tubulus proksimal.
Terganggunya aliran darah renal dan menurunnya aktivitas transporter anion organik
pada pasien dengan gangguan ginjal mengganggu efektivitas furosemid sehingga
konsentrasinya di tubulus renal lebih rendah. Dalam hal ini, peningkatan dosis
furosemid diperlukan untuk mencapai kadar furosemid yang cukup di bagian
tubulus proksimal. Pada penelitian Gerlag dan Meijel, dosis tinggi aman yang
dapat diberikan pada pasien CHF dengan gangguan ginjal berkisar antara 250-4000
mg/hari (oral ataupun IV) tanpa menimbulkan efek samping yang berarti. Ini
berbeda dengan Shankar dan Brater (2003) yang menegaskan bahwa tidak
terjadi perubahan farmakodinamik ataupun farmakokinetik yang berarti pada
furosemid yang diberikan pada pasien CHF (tanpa gangguan ginjal), furosemid
dapat mencapai kadar yang cukup pada reseptornya di ansa henle asenden walaupun
absorbsinya lebih lambat sehingga kemungkinan peningkatan dosis sampai jumlah
maksimal tidak akan memberikan efektivitas diuresis yang berarti.
Terganggunya
absorbsi diuretik pada pasien menunda terjadinya konsentrasi puncak furosemid
di urin walaupun bioavailabilitasnya tidak berubah bermakna dibandingkan subyek
normal. Kapasitas vena meningkat dan tekanan arteri pulmoner menurun dalam
beberapa menit pada bolus IV furosemid yang diberikan untuk pasien CHF ec AMI
atau penyakit jantung katup bahkan sebelum diuresis signifikan terjadi. Hal ini
menjelaskan kenapa pasien dengan edema pulmo dapat segera membaik setelah
injeksi furosemid dosis tinggi. Ini dapat dilanjutkan dengan pemberian infus
furosemid untuk mencegah terjadinya retensi natrium post diuretik. Beberapa
penelitian membandingkan efektivitas pemberian furosemid secara bolus yang
diikuti infus ataupun tanpa infus pada pasien CHF. Pada bolus yang diikuti
dengan pemberian infus, dosis furosemid yang diberikan mulai dari 3mg/jam
sampai 200mg/jam, rata-rata 10-20 mg/jam yang menyebabkan peningkatan total
volume ekskresi renal. Akan tetapi, kadar maksimal furosemid lebih rendah
sehingga efek sampingnya dapat diminimalisir.
Pada
pasien yang resisten furosemid, baik peningkatan dosis ataupun pemberian secara
bolus dan infus secara kontinyu tidak menimbulkan diuresis yang bermakna.
Dengan demikian kombinasi HCT-furosemid dapat dipertimbangkan, dengan sebelumnya
memastikan kadar albumin sebagai protein binding furosemid dalam batas normal.
*
referensi:
Bruyne,
L.K.M. 2003. Mechanisms and management of diuretik resistance in congestive heart
failure. Postgrad Med J 79:268-271).
Dargie H., et al. 2011. Oxford Text Book of Heart Failure. Oxford
University Press: Oxford. p: 3-92
Dorman,
T. & Gerlag P. 1996. Combination of high-dose furosemide and
hydrochlorothiazide in the treatment of refractory congestive heart failure. The Europan Society of Cardiology. Vol 17,
p:1867-1874.
Feldman, A. 2006. Heart Failure: Pharmacologic
management. Blackwell Futura:
Oxford. p:1-16
Felker M. 2011. Loop diuretics in heart failure. Heart
Failure Rev, Springer.
Gunawan, S (ed). 2008. Farmakologi dan Terapi. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FK UI: Jakarta. hal: 389-397.
Jentzer, J. et al. 2010. Combination of Loop Diuretik with Thiazide-Type Diuretics in Heart
Failure. Journal of Americal College of Cardiology, p: 1527-1531.
Shankar, S. & Brater, C.
2003. Loop diuretiks: from the Na-K-2Cl
transporter to clinical use. American Journal of Physiology. Vol. 284no. F11-F21.
Wood, A. 2008. Diuretic Therapy. The New England
Journal of Medicine, p: 387-395.
1 Response to Terapi Kombinasi Furosemid dan Hidroklorotiazid pada Pasien Heart Failure
Spot on with this write-up, I actually believe this web site needs
far more attention. I'll probably be returning to see more, thanks for the information!
My blog cheap jordan
Post a Comment