1 comments

Terapi Kombinasi Furosemid dan Hidroklorotiazid pada Pasien Heart Failure

Published on Friday, 8 November 2013 in

Tujuan primer pengobatan pada pasien heart failure adalah mencegah perburukan fungsi jantung dengan memperlambat progresi remodelling miokard juga mengurangi gejala-gejala gagal jantung sehingga memperbaiki kualitas hidup pasien. Untuk tujuan pertama, pada pasien dapat diberikan ACE inhibitor, misalnya berupa captopril dan beta-blocker berupa bisoprolol. Untuk tujuan kedua, diperlukan pengurangan overload cairan dengan diuretik.

1. Furosemid 

Furosemid  atau asam 4 kloro-N-furfuril-5-sufamoil antranilat merupakan salah satu loop diuretik golongan sulfonamide yang berkerja dengan menghambat reabsorbsi elektrolit Na+/K+/2Cl- di ansa henle asenden bagian epitel tebal, baik pada korteks ataupun medula renal. Pada dasarnya, titik kerja furosemid terletak pada transporter Na+/K+/2Cl luminal ansa henle asenden, atau dengan kata lain, transporter ini merupakan reseptor furosemid. Transporter tersebut merupakan protein dengan berat molekul 121 kDa dengan 12 domain. Furosemid terikat pada domain transmembran 11 dan 12, sementara domain 2, 4 dan 7 berperan mentranspor Na+/K+/2Cl- yang dikode gen NKCC2 pada kromosom 2. Berdasarkan studi, diketahui bahwa vasopressin dapat meningkatkan ekspresi transporter tersebut melalui Gsα yang dapat meningkatkan cAMP sebagai elemen regulator gen NKCC2 sehingga retensi natrium akan meningkat, yang tentunya juga diikuti dengan peningkatan reabsorbsi air.


Ekspresi transporter Na+/K+/Cl-, juga dipengaruhi oleh prostanoid renal, yang ekspresinya dapat ditekan oleh PGE2.  PGE2 mengaktifkan reseptor EP3 yang menyebabkan penurunan cAMP sehingga ekspresi transporter juga menurun. Hal ini menjelaskan efek NSAID yang dapat menyebabkan retensi air dan natrium.
Furosemid terikat kuat pada albumin serum, yang menyebabkan terbatasnya distribusi obat ini ke jaringan-jaringan tertentu. Terikatnya furosemid pada albumin menahan furosemid di dalam plasma dan ditranspor ke renal melalui titik sekresi asam organik di tubulus proksimal dengan sekresi aktif lumen, kemudian mengalir menuju segmen tebal ansa henle asenden.
Lima puluh persen furosemid dieksresikan secara aktif menuju urin dan sisanya terikat pada asam glukoronat di ginjal sendiri. Rata-rata, dosis paruh furosemid diabsorbsi  dalam rentang besar (10-100%). Variabilitas tersebut menyebabkan sulitnya memprediksi berapa banyak furosemid yang dapat diabsorbsi oleh suatu pasien sehingga perlu eksplorasi dosis dalam rentang luas pada satu pasien untuk mengetahui dosis oral yang sesuai. Ini berbeda dengan bumetanid dan torsemid yang secara penuh dapat diabsorbsi. Penelitian yang membandingkan efektivitas loop diuretik yang dapat diabsorbsi penuh seperti torsemid dibandingkan furosemid menunjukkan bahwa pada pasien heart failure yang diberikan torsemid, kualitas hidupnya lebih baik.
Pada pasien edema dengan heart failure, tidak terjadi malabsorbsi furosemid. Absrobsinya lambat khususnya pada pasien decomp. Meskipun demikian, jumlah total yang diabsorbsi sama dengan orang normal.
Waktu paruh bumetanid berkisar sekitar 1 jam, sementara torsemid 3-4 jam, dan furosemid sendiri intermediet. Dosis interval furosemid yang diberikan biasanya melebihi durasi waktu di mana furosemid itu sendiri masih dalam jumlah efektif pada titik kerjanya. Artinya, terdapat suatu periode, dimana jumlah furosemid dalam jumlah yang tidak adekuat pada titik kerjanya. Dalam periode ini, nefron secara cepat mereabsorbsi natrium, yang disebut dengan “rebound sodium retention” atau “braking”.
Pada volunteer sehat, injeksi furosemid IV 40 mg dapat mengekskresi 200-250 mEq sodium dalam 3-4 L urin selama 3-4 jam. Artinya, dapat dismpulkan bahwa furosemid menyebabkan eksresi urin dengan konsentrasi sodium mencapai ½ normal salin. Ini penting untuk memperkirakan jumlah sodium yang keluar berdasarkan volume urin yang diekskresikan (Shankar, S. & Brater, C. 2003, Felker, 2011, Gunawan, 2008 & Dargie, 2011). 

2. Resistensi Furosemid
Terdapat dua bentuk toleransi terhadap loop diuretik khususnya furosemid, yakni akut dan kronis. Toleransi akut atau “braking”, terjadi saat pemberian loop diuretik short acting seperti furosemid. Awalnya, memang terjadi natriuresis saat kadar furosemid cukup untuk memblok transporter Na+/K+/2Cl-. Tapi, setelah lebih dari 6 jam, kadar furosemid turun di bawah threshold. Hal ini memicu terjadinya lonjakan retensi natrium post diuretik sebagai kompensasi natriuresis sebelumnya.  Jika intake natrium tinggi (>100mmol/hari), efek diuretik sebelumnya menjadi tidak bermakna, bahkan keseimbangan negatif natrium dapat terjadi. Hal ini dapat diminimalisir dengan intake rendah natrium.
 
Resistensi Furosemid pada Nefron (Jentzer, et al, 2010)


Berbeda dengan toleransi akut, penelitian pada tikus membuktikan bahwa terjadi adaptasi seluler pada pemberian loop diuretik dalam jangka waktu yang lama berupa hipertrofi dan hiperplasi sel epitel penyusun tubulus kontortus distal pada nefron. Oleh karena itu, terjadi peningkatan sekresi aldosteron dan peningkatan kemampuan reabsorbsi natrium yang berobligat dengan air di segmen tersebut sehingga dosis respon furosemid pun meningkat. Data yang didapatkan secara tidak langsung pada manusia menunjukkan hasil yang identik dengan data yang didapatkan pada tikus. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hiperplasi dan hipertrofi tubulus kontrotus distal yang mengarah pada terjadinya resistensi kronis furosemid pada pasien yang diberikan furosemid dalam jangka waktu yang lama (Wood, 1998, Jentzer, et al, 2010 & Bruyne, 2003).
 
3. Kombinasi Furosemid dan HCT
Pasien dengan edema-heart failure dapat mengalami resistensi terhadap furosemid ataupun loop diuretik yang lainnya jika pemberian dosis tinggi tidak mengurangi volume ECF secara bermakna yang ditandai dengan tidak berkurangnya edema, hepatomegali, ataupun JVP. Pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang bermakna dengan pemberian furosemid kemungkinan telah mengalami resistensi. Untuk itu, pemberian kombinasi HCT dipertimbangkan.
Beberapa kombinasi diuretik memang memungkinkan dalam mengatasi adanya resistensi terhadap loop diuretik yang dalam hal ini berupa furosemid. Diuretik yang titik kerjanya di tubulus proksimal mesti dihindari pada pasien heart failure karena beresiko memicu terjadinya asidosis metabolik. Satu penelitian yang telah dipublikasi, yang dapat membuktikan efektivitas pemberian kombinasi loop diuretik dengan spironolakton pada 13 di antara 16 pasien heart failure. Satu pasien mengalami hiperkalemia (6.6mmol/l) dan azotaemia karena dehidrasi. Dosis yang diberikan lebih tinggi dari dosis rata-rata biasanya, yakni 100 mg/hari (dosis rata-rata 25 mg/hari). Meskipun demikian, penggunaan kombinasi dengan spironolakton tidak direkomendasikan karena penelitian terkait masih terbatas.
Pada Bruyne (2003) dipaparkan bahwa, terdapat 3 penelitian yang membuktikan bahwa kombinasi dengan tiazid, yang dalam hal ini berupa HCT efektif dalam menimbulkan diuresis pada pasien yang sebelumnya telah mengalami resistensi furosemid. Pemberian 25mg HCT terbukti sangat efektif pada pasien dengan CHF berat yang telah mengalami resistensi furosemid. Hipertrofi dan hiperplasi sel epitel tubulus kontortus distal menyebabkan peningkatan efektivitas HCT sendiri yang memblok simporter Na-Cl pada tubulus tersebut. Kemampuan furosemid memblok 25% sodium menjadi optimal ditambah dengan kemampuan HCT memblok 5-10% sodium. HCT memang memiliki efek natriuretik yang lemah sehingga tidak bisa diberikan sebagai monoterapi pada pasien dengan CHF kelas III-IV. Kombinasi keduanya terbukti memiliki efek sinergis yang efektif mengatasi edema pada pasien heart failure.
Penambahan HCT pada regimen loop diuretik meningkatkan ekskresi NaCl melalui beberapa mekanisme. Memang HCT tidak dapat memiliki efek tertentu yang mengubah farmakokinetik ataupun bioavailabilitas furosemid. Akan tetapi, waktu paruhnya yang lebih lama dari furosemid berperan mencegah terjadinya retensi NaCl post diuretik  yang dapat timbul pada terapi dengan loop diuretik tunggal seperti furosemid, bumetanid, ataupun torsemid yang kadarnya mulai berkurang rata-rata setelah 6 jam. Sementara reabsorbsi NaCl di loop of Henle ditekan furosemid  (Feldman, 2006 & Jentzer, 2010).
Pada penelitian sebelumnya oleh Dromans dan Gerlag (1996) juga membuktikan bahwa terdapat sinergisme bermakna antara furosemid dan HCT dalam menimbulkan diuresis. Penelitian dilakukan pada 20 orang subyek yang merupakan pasien CHF NYHA III-IV yang mengalami edema dengan massa >5kg dan resisten terhadap furosemid. Pemberian 25-100mg HCT pada subyek selama 3-12 hari menunjukkan perbaikan yang bermakna meskipun pada pasien dengan gangguan ginjal. Kadar kreatinin clearence endogen rata-rata menurun (meskipun tidak bermakna) dari 32.7 ml/min menjadi 27.6 ml/min. Adapun efek samping yang paling banyak muncul pada subyek penelitian ini ialah hipokalemi.
Sebelum kombinasi HCT dan furosemid diberikan, dijelaskan pada Bruyne (2003) ada beberapa hal yang dapat diupayakan pada pasien dengan CHF refrakter, pertama meningkatkan dosis furosemid. Furosemid merupakan asam organik yang mencapai lumen tubulus melalui sekresi dengan transporter anion organik tubulus proksimal. Terganggunya aliran darah renal dan menurunnya aktivitas transporter anion organik pada pasien dengan gangguan ginjal mengganggu efektivitas furosemid sehingga konsentrasinya di tubulus renal lebih rendah. Dalam hal ini, peningkatan dosis furosemid diperlukan untuk mencapai kadar furosemid yang cukup di bagian tubulus proksimal. Pada penelitian Gerlag dan Meijel, dosis tinggi aman yang dapat diberikan pada pasien CHF dengan gangguan ginjal berkisar antara 250-4000 mg/hari (oral ataupun IV) tanpa menimbulkan efek samping yang berarti. Ini berbeda dengan Shankar dan Brater (2003) yang menegaskan bahwa tidak terjadi perubahan farmakodinamik ataupun farmakokinetik yang berarti pada furosemid yang diberikan pada pasien CHF (tanpa gangguan ginjal), furosemid dapat mencapai kadar yang cukup pada reseptornya di ansa henle asenden walaupun absorbsinya lebih lambat sehingga kemungkinan peningkatan dosis sampai jumlah maksimal tidak akan memberikan efektivitas diuresis yang berarti.
Terganggunya absorbsi diuretik pada pasien menunda terjadinya konsentrasi puncak furosemid di urin walaupun bioavailabilitasnya tidak berubah bermakna dibandingkan subyek normal. Kapasitas vena meningkat dan tekanan arteri pulmoner menurun dalam beberapa menit pada bolus IV furosemid yang diberikan untuk pasien CHF ec AMI atau penyakit jantung katup bahkan sebelum diuresis signifikan terjadi. Hal ini menjelaskan kenapa pasien dengan edema pulmo dapat segera membaik setelah injeksi furosemid dosis tinggi. Ini dapat dilanjutkan dengan pemberian infus furosemid untuk mencegah terjadinya retensi natrium post diuretik. Beberapa penelitian membandingkan efektivitas pemberian furosemid secara bolus yang diikuti infus ataupun tanpa infus pada pasien CHF. Pada bolus yang diikuti dengan pemberian infus, dosis furosemid yang diberikan mulai dari 3mg/jam sampai 200mg/jam, rata-rata 10-20 mg/jam yang menyebabkan peningkatan total volume ekskresi renal. Akan tetapi, kadar maksimal furosemid lebih rendah sehingga efek sampingnya dapat diminimalisir.
Pada pasien yang resisten furosemid, baik peningkatan dosis ataupun pemberian secara bolus dan infus secara kontinyu tidak menimbulkan diuresis yang bermakna. Dengan demikian kombinasi HCT-furosemid dapat dipertimbangkan, dengan sebelumnya memastikan kadar albumin sebagai protein binding furosemid dalam batas normal.




*

referensi:

Bruyne, L.K.M. 2003. Mechanisms and management of diuretik resistance in congestive heart failure. Postgrad Med J 79:268-271).
Dargie H., et al. 2011. Oxford Text Book of Heart Failure. Oxford University Press: Oxford. p: 3-92
Dorman, T. & Gerlag P. 1996. Combination of high-dose furosemide and hydrochlorothiazide in the treatment of refractory congestive heart failure. The Europan Society of Cardiology. Vol 17, p:1867-1874.
Feldman, A. 2006.  Heart Failure: Pharmacologic management.  Blackwell Futura: Oxford. p:1-16
Felker M. 2011. Loop diuretics in heart failure. Heart Failure Rev, Springer.
Gunawan, S (ed). 2008. Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI: Jakarta. hal: 389-397.
Jentzer, J.  et al. 2010. Combination of Loop Diuretik with Thiazide-Type Diuretics in Heart Failure. Journal of Americal College of Cardiology, p: 1527-1531.
Shankar, S. & Brater, C. 2003. Loop diuretiks: from the Na-K-2Cl transporter to clinical use. American Journal of Physiology. Vol. 284no. F11-F21.
Wood, A. 2008. Diuretic Therapy. The New England Journal of Medicine, p: 387-395.

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

1 Response to Terapi Kombinasi Furosemid dan Hidroklorotiazid pada Pasien Heart Failure

Anonymous
8 March 2015 at 03:46

Spot on with this write-up, I actually believe this web site needs
far more attention. I'll probably be returning to see more, thanks for the information!

My blog cheap jordan