Terdapat beberapa perubahan fisiologis pada ibu hamil, salah satunya perubahan hormonal. Perubahan hormonal tersebut meliputi perubahan baik pada hormon seksual maupun non seksualnya. Perubahan hormon seksual maupun non seksual tersebut dapat berhubungan dengan terjadinya DM, hipertiroid, dan asma pada ibu hamil.
a. Patogenesis
Asma dan kehamilan merupakan dua hal yang saling terkait. Dimana asma dapat meningkatkan resiko terjadinya gangguan pada kehamilan sementara kehamilan berpengaruh terhadap asma.
Mekanisme terbentuknya suatu perubahan pada asma akibat kehamilan memang tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, ada beberapa hal yang diduga berperan dalam hal ini, seperti: faktor hormonal maternal, responsivitas beta2 adrenoreseptor, jenis kelamin fetus dan perubahan fungsi imun ibu. Semua ini pun, tidak selalu berdampak negatif pada asma. Bisa saja asma memburuk, membaik, atau malah justru tidak terjadi perubahan sama sekali. Dengan demikian, belum ada faktor yang dapat menjelaskan hubungan pasti antara asma dan kehamilan. Hanya terbatas pada beberapa teori yang berdasarkan pada beberapa penelitian yang kemudian diduga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada asma selama kehamilan.
Jika ditinjau dari sisi hormonal, pada ibu hamil terjadi peningkatan kortisol. Peningkatan ini salah satunya disebabkan oleh peningkatan CRH yang dihasilkan hipofisis dan plasenta. Karena efek antiinflamasi yang dimiliki kortisol, tentunya hal ini dapat memperbaiki asma pada ibu. Selain itu, adanya peningkatan progesteron juga dapat meningkatkan ventilasi per menit dan merelaksasikan otot polos yang antara lain terdapat pada bronkus. Tentunya, hal ini akan memperbaiki keadaan ibu dengan asma. Akan tetapi, selain memiliki efek seperti ini, progesteron juga dapat memperburuk keadaan asma karena progesteron sirkulasi juga dapat menginduksi terjadinya perubahan pada responsivitas beta2 adrenoreseptor.
Selain faktor hormonal, faktor imun juga berpengaruh terhadap asma pada kehamilan. Pada ibu hamil, terjadi peningkatan rasio antara sel Th2 berbanding sel Th1. Sementara, asma merupakan suatu penyakit Th2-mediated-disease. Akan tetapi hal ini juga bukan faktor definitif karena asma tidak selalu menjadi makin buruk selama kehamilan. Kadang, sebagian wanita mengalami perbaikan asma pada kehamilan, tapi sebagian lagi justru asmanya memburuk. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa faktor tiap individu ibu memiliki andil yang berbeda-beda dalam hal ini (Murphy, et.al: 2005).
Dalam penelitian yang lain (Zen, et.al: 2010) diketahui bahwa faktor hormonal dan imun tidak berdiri sendiri-sendiri. Ternyata keduanya adalah suatu kesatuan yang terkait dalam konteks ini. Progesteron dibuktikan dapat memengaruhi aktivitas dari Th2 dan Th1. Singkatnya, progesteron meningkatkan kinerja Th2 tapi justru menurunkan kinerja Th1. Tentunya hal ini penting dalam menjelaskan bagaimana, rasio Th2 dan Th1 dikatakan meningkat pada penelitian sebelumnya, walaupun persisnya tidak demikian. Progesteron dapat menginduksi respon imun humoral dengan meningkatkan sitokin Th2 (IL-4,5). Selain itu, progesteron juga dapat menginduksi protein 34-kD “PIBF-progesterone-induced blocking factor” yang berperan dalam regulasi respon imun humoral, termasuk dalam induksi peningkatan profil sitokin Th2. Di sisi lain, progesteron justru menurunkan sitokin Th1 (IL-2,10, interferon gamma).
Berdasarkan hal tersebut, adanya peningkatan progesteron dapat menjelaskan mengapa beberapa penyakit yang terkait dengan peningkatan aktivitas Th2 dapat memburuk pada kehamilan, salah satunya asma. Akan tetapi tidak semua ibu akan mengalami perburukan asma pada setiap saat pada fase kehamilannya. Hal ini dikarenakan kadar progesteron tidak monoton dalam darah. Hormon ini meningkat dalam fase-fase tertentu yang diilustrasikan pada grafik berikut.
Berdasarkan grafik berikut memang harusnya ada perbedaan signifikan asma ibu yang hamil pada trimester 1, 2 dan 3 jika ditinjau dari perbaikan atau perburukannya. Tapi berdasarkan penelitian, tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan (Kwon: 2003). Hal ini mungkin dikarenakan progesteron bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh pada asma pada kehamilan. Masih ada peningkatan kortisol yang dapat memperbaiki keadaan asma ibu dengan menekan aktivitas imun yang berlebihan akibat stimulasi progesteron. Perpaduan efek hormonal ini tentunya berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Mungkin itu kenapa, ada ibu hamil dengan asma yang membaik, memburuk, atau malah tidak terjadi perubahan bermakna sama sekali pada kondisi asmanya jika dibandingkan dengan saat tidak hamil.
Selain ibu, fetus juga dapat mempunyai peran dalam terjadinya asma pada ibu. Diketahui bahwa, ibu yang hamil anak perempuan memiliki riwayat asma yang lebih buruk selama kehamilannya jika dibandingkan dengan ibu dengan anak laki-laki (Murphy, et.al: 2005). Hal ini juga diduga masih ada kaitannya dengan faktor hormonal meskipun belum dapat dijelaskan secara pasti.
Pada ibu hamil, yang terjadi bukan hanya peningkatan progesteron tentunya, terdapat juga peningkatan dari beberapa hormon lainnya, seperti HCG, tiroid, juga HCS, yang dapat memengaruhi suatu penyakit terkait endokrin seperti hipertiroid juga diabetes melitus.
Dalam keadaan fisiologis, kelenjar tiroid dapat membesar sampai 50% selama kehamilan dan meningkatakan produksi tiroksin yang sesuai dengan pembesaran tersebut. Peningkatan pembentukan tiroksin ini dapat diinduksi efek tirotropik HCG dan human chorionic thyrothropin yang dihasilkan plasenta. Ini dikarenakan adanya analogi struktural antara HCG dan TSH yang berperan dalam peningkatan hormon tiroid (Meczekalski & Czyzyk: 2009) (Guyton & Hall: 2007).
Dalam penelitian sebelumnya (Goldman&Hostman: 2011) diketahui bahwa morning sickness berupa mual muntah pada ibu hamil terkait dengan peningkatan kadar tiroid dan HCG dalam darah. Hal ini dapat menunjukkan hubungan antara HCG yang memang berdampak pada timbulnya mual muntah serta peningkatan kadar hormon tiroid (FT4) ibu yang dikompensasi dengan penurunan TSH sebagai bentuk feedback negatif. Hal ini ditunjukkan oleh grafik berikut.
Peningkatan hormon-hormon sex pada kehamilan memang sangat berpengaruh terhadap patogenesis dari penyakit-penyakit ini. Tidak hanya HCG dan progesteron. Estrogen juga mengambil andil. Dalam (Reece: 2009) dijelaskan bahwa esterogen dan progesteron dapat menurunkan kadar gula darah puasa pada ibu hamil, penghambatan pengosongan lambung, juga peningkatan nafsu makan. Tetapi seiring dengan perkembangan kehamilan, justru terjadi peningkatan kadar gula darah postprandial karena adanya penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Hal ini dikarenakan adanya post-receptor-defects pada kaskade pensinyalan insulin. Adanya penurunan regulasi IRS-1 (insulin receptor substrate-1) juga dapat berperan pada penurunan uptake glukosa oleh otot-otot skeletal. Selain itu terdapat juga reduksi kemampuan reseptor B insulin dalam fosforilasi tirosin.
Adanya resistensi insulin tersebut biasanya mulai berlangsung pada pertengahan masa kehamilan. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan HCS (human chorionic somatotrophin) oleh plasenta. Artinya, perkembangan plasenta akan menyebabkan peningkatan sekresi hormon ini. Dimana hormon ini dapat menurunkan uptake glukosa oleh jaringan perifer ibu. Artinya hormon ini menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada ibu. Tapi di sisi lain, hormon ini meningkatkan sekresi insulin fetus.
Untuk mengompensasi hal tersebut, harusnya sel beta pankreas dapat meningkatkan sekresi insulin ibu dengan adanya hipertropi dan hiperplasi sel beta pankreas, namun pada beberapa wanita hal ini tidak terjadi. Inilah yang menyebabkan terjadinya DM pada sebagian ibu hamil. Adapun hal ini dapat dikarenakan adanya otoimunitas dan monogenik pada ibu tersebut (Parkins: 2007).
b. Gejala Klinis
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa asma, hipertiroid, juga DM merupakan suatu penyakit yang sama-sama dipengaruhi oleh perubahan endokrin maternal pada ibu hamil. Adapun gejala klinis yang timbul pada ibu hamil dengan penyakit-penyakit tersebut tidak mutlak sama dengan ibu yang tidak hamil. Terdapat gejala ataupun tanda yang kemudian dapat merancukan penegakan diagnosis.
Pada hipertiroidisme terutama, kehamilan dan hipertiroidisme merupakan dua keadaan dengan karakteristik yang hampir sama, “peningkatan metabolisme”. Hal ini menyebabkan sulitnya membedakan pasien dengan kehamilan saja atau disertai dengan hipertiroid juga. Apalagi tanda dan gejala lain dari dua keadaan ini juga tidak jauh berbeda. Gejala hipertiroid misalnya: amenore, kelemahan, kelabilan emosional, gugup, rentang perhatian berkurang, intoleransi terhadap panas, mual dan muntah, hyperorexia tentu sangat mirip dengan gejala awal kehamilan. Demikian juga dengan tanda yang meliputi: kulit halus hangat, takikardi, peningkatan tekanan darah, bahkan pembesaran kecil kelenjar gondok dapat terjadi baik pada kehamilan dengan atau tanpa hipertiroid.
Hal tersebut menyebabkan pentingnya pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis adanya hipertiroid pada kehamilan. Walaupun demikian, ada beberapa hal yang dapat menjadi karakteristik hipertiroid pada kehamilan, antara lain berat badan yang tidak meningkat meskipun diiringi dengan peningkatan nafsu makan juga asupan makanan tentunya. Selain itu, tremor dan peningkatan denyut jantung yang tidak signifikan juga khas untuk hipertiroidisme pada kehamilan. Terkait dengan cukup tingginya kejadian grave disease pada ibu hamil, penting juga untuk melakukan pemeriksaan gejala: ophthalmopathy Graves (tatapan mata, lid lag, exopthalmus, lagophthalmus) dan pretibial myxedema (Meczekalski & Czyzyk: 2009).
Gejala klinis DM dan asma pada kehamilan ataupun tanpa kehamilan pada dasarnya tidak jauh berbeda. Pada asma, dapat terjadi sesak, batuk, dan produksi sputum, wheezing, dispnea yang paroxysmal atau persisten. Namun pada kehamilan juga dapat terjadi dispnea fisiologis (Dowmbrowski: 2006). Pada DM pun dapat terjadi polifagi dan poliuri. Akan tetapi gejala ini juga dapat terjadi pada kehamilan seperti halnya pada hipertiroid dan asma. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa adanya kemiripan gejala klinis pada ketiga penyakit ini dengan kehamilan membuat pentingnya pemeriksaan penunjang dalam diagnosis.
Daftar Pustaka
Dowmbrowski, M. 2006. Asthma and Pregnancy. Obstetrics & Gynecology. 108: 667-8.
Goldman, A. & Mestman, J. 2011. Transient Non-Autoimmune Hyperthyroidism of Early Pregnancy. Journal of Thyroid Research 2011: 1-11.
Guyton & Hall (2007). Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Kwon, et al. 2004. Effect of pregnancy and stage of pregnancy on asthma severity: A systematic review. American Journal of Obstetrics and Gynecology 190: 1201-10.
Męczekalski, B. & Czyżyk, A. 2009. Hyperthyroidism in pregnancy: Diagnosis and management. Archives of Perinatal Medicine 15(3): 127-35.
Murphy, et.al. 2005. Asthma During Pregnancy: Mechanisms and treatment implication. Eur Respir J. 25: 731–50.
Perkins, J., et al. 2007. Perspectives in Gestational Diabetes Mellitus: A Review of Screening, Diagnosis, and Treatment. American Diabetes Association.
Reece, A. et al. 2009. Gestational diabetes: the need for a common ground. Lancet. 373: 1789–97.
Zen, M., et al. 2010. Hormones, immune response, and pregnancy in healthy women and SLE patients. Swiss Med Wkly 14 0 (13 – 14) : 18 7 – 2 01.
No Response to "Patogenesis dan Gejala Klinis Asma, DM dan Hipertiroid pada Ibu Hamil"
Post a Comment