0 comments

Jarak

Published on Wednesday, 5 November 2025 in

Ada satu hukum dalam fisika kuantum yang selalu membuatku berhenti lama setiap kali membacanya, "quantum entanglement". Hukum ini menjelaskan tentang dua partikel yang pernah berinteraksi akan terus saling terhubung, bahkan ketika jarak memisahkan mereka sejauh mungkin.

Jika satu partikel berubah, partikel lain akan merespons seketika, seolah tidak ada ruang dan waktu yang memisahkan. Einstein menyebutnya spooky action at a distance, tak masuk akal bagi hukum fisika klasik.

Tapi mungkin hukum ini bukan hanya tentang Fisika, melainkan cerminan dari bagaimana Allah menautkan mahluk satu dan yang lainnya dalam skenario-Nya. Setiap pertemuan, setiap doa, setiap niat baik, semuanya meninggalkan jejak yang tetap hidup di semesta, bahkan setelah semuanya berlalu.

Tentang seseorang yang memiliki niat baik, seseorang yang mendoakan hal baik untuk orang lain, seseorang yang berbuat baik, kemudian setiap kebaikan yang ia pancarkan kembali kepadanya dalam bentuk kebaikan yang lain. Atau mungkin juga tentang hati, yang tergetar saat ada hati lain yang tertuju padanya. Atau mungkin juga tentang seorang ayah dan ibu yang mengirimkan doa baik untuk kita, sehingga kadang kita merasa, setiap jalan yang kita lalui dimudahkan oleh-Nya. Mungkin ini bagian dari hukum entanglement. 

John Bell dan Alain Aspect membuktikan bahwa keterikatan itu nyata. Bahwa informasi bisa berpindah tanpa perantara yang dapat diukur. Dan bukankah doa juga demikian? Kita tak tahu bagaimana cara kerjanya, tapi kita tahu ia sampai. Secepat cahaya, bahkan lebih cepat dari kedip detik jam di pergelangan tanganmu.

Mungkin sedekah kecil yang kamu berikan diam-diam telah menolong seseorang yang tak akan pernah kamu kenal. Mungkin kesabaranmu menahan satu kalimat kasar hari ini, menyelamatkan seseorang dari luka yang hampir terjadi. Sampai kemudian entah bagaimana, ada saja kebaikan-kebaikan yang sampai kepadamu. Aku menyadari bahwa apapun yang kita lakukan selalu akhirnya kembali ke diri kita sendiri ataupun yang kita cintai, seperti juga doa baik tentangmu yang akan kembali pada siapapun yang mendoakan.

Begitulah alam semesta bekerja dalam kehendak Allah: setiap kebaikan saling berpantulan, setiap niat saling bergetar, setiap doa kembali berbalasan.

Kita mungkin merasa sendiri, padahal tidak pernah benar-benar terpisah. Kita hidup dalam jejaring pertolongan Allah.. diatur, disinkronkan, dan disampaikan dengan cara yang tak selalu bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.

Mungkin memang inilah hakikat hukum entanglement: bahwa tidak ada kebaikan yang berdiri sendiri, tidak ada pertemuan yang tak berarti, dan tidak ada doa yang hilang di udara. Segala sesuatu tetap terhubung, karena Allah menghubungkannya.

Dan mungkin tugas kita hanya satu: menjaga agar niatan hati yang kita kirim ke semesta tetap baik, tetap tulus, dan tetap menuju ridhoNya.

*

Fenomena Quantum Entanglement pertama kali dijelaskan oleh Albert Einstein, Boris Podolsky, dan Nathan Rosen pada tahun 1935 dalam EPR Paradox. Mereka mempertanyakan bagaimana dua partikel bisa tetap terhubung secara instan meskipun terpisah jarak.

Puluhan tahun kemudian, John Bell (1964) dan Alain Aspect (1981) melalui eksperimen kuantum membuktikan bahwa keterikatan itu nyata dan melanggar batasan lokalitas klasik.

Sejak saat itu, hukum ini menjadi dasar bagi pengembangan quantum computing dan quantum communication — sekaligus membuka kembali pertanyaan awal: apakah semua yang ada di alam semesta ini, sebenarnya masih saling terhubung pada tingkat yang tidak kita pahami?

*

Kadang, hukum-hukum alam hanyalah cara lain Allah menjelaskan cinta dan pertolongan-Nya dalam bahasa yang belum seluruhnya kita mengerti.


0 comments

Setelah Bulan Juli

Published on Wednesday, 27 August 2025 in

Lombok, Agustus 2025

Beberapa tahun yang lalu, aku pernah bermalam di salah satu tanah lapang dengan langit yang bersih, yang saat malam harinya, bintang-bintang bisa terlihat lebih jelas, terasa lebih dekat seperti hamparan kerikil bercahaya di sungai langit. Di tempat itu, saat aku menarik nafas, udara dengan bau rumput basah terasa sejuk menenangkan sampai ke alveolus. Jalanan di Lombok saat ini berubah banyak sejak 10 tahun terakhir, membuatku baru menyadari, bahwa tempat itu saat ini menjadi bangunan perumahan baru, yang ternyata kami beli dua tahun yang lalu. Allah memberikan kami rumah, yang pada pagi harinya aku bisa melihat matahari terbit di jingga nya fajar, yang pada sore harinya, aku bisa menyaksikan langit biru jingga membentuk padanan warna mengagumkan di langit sore yang mengantarkan matahari tenggelam pada ufuk barat.

dan kabar baiknya, rumah kami saat ini di dekat pantai. Setiap hari, aku melewati jalanan pinggir pantai saat pergi dan pulang dari puskesmas kota tua. Aku bisa melihat ombak, laut biru, perahu-perahu nelayan setiap menoleh ke pinggir jalan. Allah memang selalu Mahasayang. Di saat kak Fach sibuk dengan pekerjaannya, Allah tidak membiarkanku kesepian di bumi. Sahabatku Aluh, pindah tempat bekerja ke Mataram mengikuti suaminya, yang sebelumnya sudah menetap di Lombok Timur, di tahun yang sama dengan kami yang menempati rumah ini. Menakjubkannya, mereka pun ternyata punya rumah dekat dari rumah kami. Setiap minggu kami ke pasar sore bersama di dekat rumah, juga ke kebun bersama, memetik mangga muda.

Anak-anak, aku bahagia sekali bisa menemani tumbuh mereka yang begitu indah saat ini. Fatha cinta sekali dengan Quran, tanpa kusadari dia menghafal juz pertama nya saat usia 3 tahun. dan si bungsu yang begitu cerdas, seperti hasil kloning dari ayahnya, identik wajah dan tingkahnya dengan kak Fach. Kami membuatkan mereka taman bermain di belakang rumah yang memungkinkan mereka grounding setiap hari. Aku menemani mereka belajar tentang banyak hal.

Aku merasa, sudah menemukan, apa yang aku cari di bumi.

Tapi kemudian saat menemani Kak Fach menghadiri acara papdi, aku bertemu dengan Prof Mulyanto. Terkahir bertemu beliau, mungkin lebih dari 10 tahun yang lalu. Haru, rasanya air mata mau tumpah. Prof Mul lah dekan yang langsung menelfon rektor untuk membebaskanku biaya kuliah saat pulang dari Jakarta memenangkan Olimpiade Nasional Pertamina tahun 2011. “Saya Terimakasih sekali Prof waktu itu,” aku melihat beliau lekat, seluruh rambutnya memutih, tapi ingatannya masih cukup baik. Beliau adalah peneliti hepatitis dengan banyak karya yang mengagumkan. Aku tertegun saat beliau kemudian mengatakan, “kalau ga ambil penyakit dalam, ya sekolah S2…bisa ambil imunologi.” Aku terdiam sebentar, “Oh ya Prof, suami sy juga penyakit dalam,” kemudian memperkenalkan Kak Fach ke Prof. Sampai kemudian sepertinya Prof bisa memahami, kenapa aku masih betah jadi dokter puskesmas di Kota Tua.


*

Entahlah. Kadang akupun bertanya pada diri sendiri? Apa cukup begini? Apa benar seperti ini? 

*

0 comments

Namanya : Matahari

Published on Monday, 5 May 2025 in

Setelah Bulan Juli di tahun yang lain,


Bertahun-tahun aku bertemu banyak sekali orang berbeda setiap harinya. Dulunya, aku selalu berharap dalam segala bentuk kebetulan, bisa dipertemukanmu, sekalipun hanya beberapa saat. Bumi tidak pernah berhenti bergerak, komponen sel tubuh kita pun juga tidak pernah berhenti bergerak. Menakjubkannya, setiap pergerakan kita sudah tertulis dalam takdir yang dirancang Tuhan berabad-abad sebelum sel kita ada, juga termasuk setiap langkah yang akhirnya membuat kita bisa saling melihat di suatu titik dan waktu yang sama. Sehebat itu Tuhan merancang titik pertemuan kita dengan setiap orang, juga denganmu, tentu dengan setiap maksud yang tidak sederhana. Aku percaya tentang itu. Aku percaya bahwa Tuhan selalu memberikan jalan pulang kepada-Nya, seburuk apapun kita, seperti pertemuan Musa dan Firaun. Allah memberikan jalan Firaun kembali kepada-Nya berulangkali melalui pertemuannya dengan Baginda Musa, tapi Firaun terlambat menerima jalan itu, karena keangkuhan dan kegelapan hatinya.

Pergerakan bumi, juga pergerakan matahari, aku menyadari bahwa setiap laju pergerakannya terasa lebih cepat dari puluhan tahun sebelumnya, setahun terasa sebulan, sehari terasa semenit, kita menua, dan ratusan tahun lagi, kita sudah lenyap, yang tertinggal hanyalah apa yang bisa ditinggalkan.

Aku tidak tahu bagaimana orang lain melihat langit dan bumi. Tapi aku melihat bumi jadi satu planet yang dibuat bergantung pada energi matahari, sepenuhnya. Mahluk-mahluk berklorofil menyerap energi matahari untuk membuat makanan dasar seluruh mahluk hidup lain di bumi, juga menyediakan oksigen sebagai kebutuhan dasar lain, hampir seluruh organisme. Makanan dasar dan oksigen jadi dua hal penting yang memungkinkan pergerakan seluruh mahluk hidup. Aku menyadari bahwa setiap pergerakan yang akhirnya mempertemukan setiap orang yang ditakdirkan bertemu, juga bergantung secara tidak langsung pada energi matahari. Maha besar Allah, yang membuat matahari, salah satu bintang yang paling dekat dengan bumi. Entahlah kapan matahari kita mati, karena setiap bintang di langit juga memiliki akhir waktu kapan dia akan mati.

Sejak belasan tahun yang lalu aku mengagumi matahari, aku menyukai caranya memberikan energi sepenuhnya pada bumi. Aku kagum pada kebermanfaatan nya untuk bumi juga seisinya dalam tiap detik waktu yang Allah berikan padanya. Matahari, aku melihatnya sebagai mahluk yang Allah ciptakan sama halnya dengan kita, hanya saja wujud dan perannya berbeda. Aku takjub pada caranya mengajarkan tentang hakikat terbit dan tenggelam di langit, sebagai analogi setiap pertemuan akan diikuti dengan perpisahan. Mungkin ada yang bisa memahami, karena alasan ini sejak dulu aku menyukai Jepang : cara moyang mereka melihat matahari sampai mengabadikannya dalam bendera membuatku berpikir mungkin mereka juga mengagumi mahluk bernama matahari identik seperti aku mengaguminya, bedanya aku mengistimewakan matahari sebagai mahluk, sebagian dari Jepang melihat matahari sebagai tuhan.

*

Seperti halnya kita, setiap bintang memiliki umur, matahari kita pun demikian. Tapi aku rasa, manusia lebih beruntung dari matahari. Saat waktunya habis, seorang manusia, bisa meninggalkan kebaikannya tetap di bumi melalui anak-anak yang dia besarkan setulus hati, juga kebermanfaatan yang dia wariskan untuk orang lain dalam ilmu yang baik.

Pada waktu yang Allah berikan, aku tidak mengejar apa yang tidak bisa bermakna ditinggalkan. Bertahun-tahun sebelum ini aku selalu ingin jadi ibu rumah tangga, karena aku memahami, bahwa anak-anak yang baik bisa jadi benih kebaikan yang ditinggalkan untuk bumi. Bertahun-tahun sebelum ini aku pun ingin jadi dokter puskesmas dekat pantai: tempat di mana kebermanfaatan ilmu bisa dirasakan oleh banyak orang yang “benar-benar” membutuhkan. 

Tidak sekali dua kali aku bertemu pasien lansia pendatang yang asalnya dari tanah yang jauh, menetap sendirian di kota tua, sudah ditinggalkan ke kehidupan yang lain oleh pasangannya, tanpa memiliki keluarga yang lain di sini. Juga seorang ibu dengan bayi PJB yang perlu dirujuk ke rumah sakit tanpa perlu membayar, tapi tetap menolak pergi karena tidak punya uang sekedar untuk berpergian ke rumah sakit yang jaraknya belasan kilometer. Juga tidak sedikit pasien anak dari pesisir yang tumbuh tanpa ayah, ayahnya hilang saat melaut. 

Aku mengagumi mahluk yang sering kita sebut sebagai matahari, mahluk yang tetap memberikan kebermanfaatan begitu besar pada mahluk yang lain, tanpa sedikit pun pamrih. Dalam setiap kebetulan, aku berharap selalu bisa menemukan matahari lain di bumi, pada diriku sendiri juga pada setiap orang yang aku sayangi.

*