0 comments

Melihat Masa Lalu pada Bintang-Bintang

Published on Tuesday, 15 October 2024 in

Lombok, 2024

Jauh sebelum hari ini, sepertinya waktu itu Sabtu malam. Bintang-bintang bertaburan seperti kerikil di dasar sungai yang airnya jernih seperti kristal. Malam itu langit tidak berawan. Bintang-bintang berbaris bergerombol membentuk aliran sungai di langit, bersinar redup terang. Sehabis hujan, angin selalu saja menyegarkan wajah, membawa wangi daun-daun basah yang berjatuhan ke tanah. Angin juga menjatuhkan bulir-bulir air hujan yang tersimpan di ujung daun-daun hijau yang masih melekat kuat pada tangkai dahan pohon-pohon malam itu. Bulan tampak begitu jelas benderangnya.

Aku punya kebiasaan, belajar dari bumi juga langit yang Allah ciptakan. Aku suka belajar sendirian saat malam hanya berisik dengan suara alam. Aku belajar tentang benda-benda langit yang Allah susun dalam jarak terbaik. Ada yang jauh, ada juga yang relatif dekat, seperti bulan malam itu. Bulan yang gravitasinya turut menggerakkan pasang surut air laut. Hai, ada juga yang jauh, bintang-bintang di langit, yang padanya kita bisa melihat masa lalu, sekalipun hanya 8 menit yang lalu. Gerombolan bintang di sungai langit, yang cahayanya sampai ke bumi dalam 8 menit. Dan yang terdekat, namanya matahari, pun turut menggerakkan pasang surut air laut, juga menggerakkan mahluk hidup di bumi. Tapi seluruhnya bisa hancur seketika, saat ketetapan jarak yang Allah atur, dilanggar sendiri oleh matahari, juga benda-benda langit yang lain. Tak akan ada lagi cerita tentang bumi, bulan, juga cerita tentang kita.



Dan bukankah hukum di bumi dan hukum di langit berlaku identik? Bukankah hukum di bumi dan langit dibuat oleh Tuhan yang sama?

Tuhan yang Mahasayang, pun adalah kepastian. Aku memahami, bahwa setiap aturannya, adalah untuk menjaga keberlangsungan alam semesta dalam waktu yang Allah telah tetapkan. Aku memahami bahwa setiap aturan-Nya adalah untuk kebaikan, kita. Hanya saja, tidak semua mahluk bumi sepatuh mahluk-mahluk di langit. Entah, menurutmu bumi bisa bertahan akan sampai kapan?

*

Dekatnya bulan, jauhnya matahari, tak ada yang pernah keliru satu proton pun, dari takdir dan ketetapan. Rodhitubillahirobba..

0 comments

Cinta Pertama

Published on Monday, 9 September 2024 in

September 2024

Aku selalu meyakini bahwa Tuhan menyayangiku, memberikanku yang terbaik, memenuhi apapun yang aku butuhkan, mengabulkan semua pintaku selama itu indah untukku. Bagaimana tidak, berulangkali banyak hal yang baru aku gumamkan dalam hati, dalam waktu singkat Tuhan menjadikannya kenyataan dengan cara yang menakjubkan dalam cerita yang panjang. 

Bahkan Tuhan selalu melindungiku, setiap hal buruk yang datang ingin menghampiri, Tuhan hadirkan banyak ciptaan-Nya untuk melindungiku, hampir seluruhnya orang-orang yang tidak pernah aku kenal, pun tidak pernah aku cari. Allah bilang, “Aku sesuai prasangka hamba-Ku.” dan aku berpikir, sayang Tuhan mesti lebih besar dari sayang orang tuaku, karena Tuhan lah yang menciptakanku, bahkan jauh sebelum aku diciptakan di dalam uterus ibuku. 

Aku masih ingat saat aku berbisik ke bumi, tentang orang-orang yang aku cinta. Aku berbisik ke bumi, apa yang aku mimpikan. Aku berbisik ke bumi, semoga Allah selalu memelukku juga orang-orang yang aku cinta, dalam kasih sayang-Nya. Aku bercerita pada Tuhan, tentang setiap hal yang aku inginkan. Tiga puluh tahunan di bumi, Allah selalu memberikan apapun yang aku minta pada waktu terbaik, dengan cara yang terbaik.

Bukan siapapun, tapi Tuhanlah cinta pertamaku, cinta pertama yang kemudian menghadirkan orang-orang yang bisa menemaniku selama hidup di bumi: orangtuaku, laki-laki yang mencintaiku, juga anak-anakku. Tuhanlah yang menumbuhkan cinta di dalam sistem limbik mereka, hingga mereka bisa mencintaiku dengan baik buruknya aku.

Memahami itu, membuatku sadar diri bahwa, tugasku adalah mengikuti seluruh aturan yang Tuhan ciptakan, karena pasti seluruh aturan itupun untuk melindungiku, menjagaku, membahagiakanku. Salah satu aturan yang membuatku terkesima adalah aturan tentang perempuan. Aturan yang Allah ciptakan ternyata begitu memuliakan perempuan, yang mulai dari lahirnya sampai dia menikah wajib dinafkahi ayahnya, yang ketika perempuan tumbuh dewasa keindahannya ditutupi karena dia berharga, yang ketika dia disentuh lelaki lain pun lelaki itu harus bersaksi di hadapan mahluk langit dan bumi, atas nama Tuhan, untuk boleh memandang dan menyentuhnya, yang jika bepergian jauh pun Allah memerintahkan harus ada mahrom yang menemani dan menjaganya. 

Sayangnya tidak banyak perempuan yang memahami cara sayang Allah untuknya, merelakan dirinya disentuh lelaki lain yang tidak pernah berjanji di hadapan banyak orang, memurahkan dirinya untuk lelaki lain yang tidak berjanji atas nama Tuhan untuk menjaganya. Tuhan mana yang tidak akan kecewa? Sayangnya hanya Tuhan yang punya kuasa menumbuhkan dan mematikan cinta. Aku selalu takut mengecewakan Tuhanku, aku tidak bisa hidup tanpa kasih sayang Tuhan-ku. Aku berpikir, kalau Tuhan nanti kecewa kemudian Tuhan menghapus rasa cinta di sistem limbik orang yang aku cinta bagaimana?

Aku percaya bahwa, mengecewakan Tuhan, artinya mencari keterpurukan untuk diri sendiri, cepat atau lambat hanya tentang waktu, kesedihan dan kegelisahan itu akan menyertai orang-orang yang durhaka pada Pencipta. Tentu bukan tentang keberlimpahan atau kekurangan, karena keduanya tidak berlekatan dengan keberkahan.

Semoga Allah selalu menjaga kita dalam ketaatan, karena ada mahluk lain yang konon bahagia melihat kita jauh dari-Nya. 

*

Hidup tanpa menggantungkan diri pada Tuhan itu berat. Menjalani hari-hari seolah-olah Tuhan itu tidak ada, pun sungguh berat. Aku pernah. Sampai aku tersadar, bahwa bukan begitu aturan mainnya. Manusia Allah ciptakan lemah, ternyata memang karena Allah menginginkan mahluk-Nya selalu bergantung pada-Nya.

*

0 comments

Puskesmas Kota Tua

Published on Monday, 19 August 2024 in

Bangunan dengan arsitektur tua, khas sekali dibangun dari masanya Belanda, masih berdiri kokoh di pinggir jalanan sampai dengan dekat pantai kota tua dengan karakter warna putih dan abu. Toko-toko tua di pinggir jalan, dominan diisi pedagang-pedagang keturunan China dan Arab, sebagian juga orang lokal yang meneruskan usaha keluarganya. Jika kamu ke sudut kota ini, kamu bisa menyaksikan atmosfer kota saat tahun 70-an: barbershop tua dengan poster jadul dilapisi plastik yang masih terpampang di dinding, salon tua yg masih dikelola chindo lansia yang ahli menata rambut gaya generasi old, toko buku tua yang masih menyimpan koleksi buku-buku entah dari tahun berapa, juga rumah makan legendaris yang bangunannya lama dengan citra rasanya begitu nostalgic.


Kota tua saat ini adalah bagian dari kecamatan yang terletak di pinggiran pantai Ampenan yang dihuni berbagai suku di dalamnya: suku bugis menempati Kampung Bugis, suku dari arab menempati Kampung Arab, suku melayu menempati Kampung Melayu, juga penduduk keturunan china yang tidak punya nama kampung khusus di sana. Aku kesulitan bicara bahasa daerah dengan pasien-pasien puskesmas kota tua, karena sampai sekarang pun mereka tidak meninggalkan bahasa ibu mereka. Banyak pendatang naik kapal dari negeri asalnya puluhan tahun yang lalu, kemudian menetap sampai detik ini di kota tua.

Meninggalkan sejarah kejayaan bahari kota tua pada waktu lampau, penduduk pesisir masih tetap banyak yang melaut. Sesekali saat masih pagi, aku ke pesisir pantai menghirup aroma air laut, melihat ikan-ikan yang masih berselimut pasir, cumi menggelepar yang masih menyemburkan tinta, untuk kemudian dibawa ke pasar-pasar di kota tua. Aku sering turun berjalan ke tengah-tengah kampung dengan jalanan sempit sebagai dokter puskesmas kota tua: mengisi kelas ibu dan balita, memberikan penyuluhan, juga mengevaluasi ANC di Posyandu.

Enam tahun yang lalu, aku memilih puskesmas kota tua sebagai tempat mengamalkan ilmu kedokteran, dengan berbagai keunikannya. Bukan karena menyukai laut, tapi karena di kota tua yang luasnya tak seberapa, aku bisa menemukan banyak orang dari berbagai daerah dan negeri di bumi. Aku tahu pada akhirnya langkahku tak akan bisa jauh pergi berlama-lama saat sudah memutuskan ingin jadi ibu rumah tangga pada tahun-tahun pertama, maka aku memilih tempat seperti kota tua yang aku bisa datangi setiap hari. Aku hanya perlu ke kota tua, dan aku bisa bertemu dengan berbagai suku yang berasal dari banyak tempat di Indonesia juga tempat yang lain. Aku bisa bertemu banyak orang dengan dialeg melayu, dialeg bugis, dll. dan yang paling menyenangkan, aku tak pernah repot ke pasar karena keluarga nelayan di kota tua hampir rutin membawakan ikan yang baru ditangkap dari laut ke puskesmas. Konon orang-orang bugis terkenal salah satunya karena ketangguhannya melaut, mereka punya tempat sendiri di pesisir kota tua.

Mendengarkan suara ombak, menghirup aroma pesisir, menyaksikan birunya laut bertemu langit, jadi bukan hal yang sulit saat sudah memilih bekerja di puskesmas yang terletak di ibukota provinsi ini. Aku memahami bahwa, memutuskan jadi ibu rumah tangga dan dokter puskesmas butuh suasana yang baik setiap harinya. Entah bagaimana, rasanya, mudah sekali menjadi “aku”.

Aku merasakan bisa menikmati keseimbangan hidup saat bisa menjadi ibu rumah tangga yang bekerja di puskesmas pesisir. Aku bisa mengamalkan ilmu kedokteran pada pasien tanpa mereka perlu membayar bahkan tanpa perlu memiliki asuransi apapun. Aku bisa memberikan terapi tanpa perlu dalam supervisi siapapun. Aku bisa melakukan penelitian dengan data yang tidak repot didapatkan. Aku pun bisa sharing ilmu dengan dokter internsip yang aku dampingi. Aku bisa update ilmu rutin tanpa perlu membayar. Aku bisa memanfaatkan laboratorium sederhana yang ada. dan yang terpenting aku pun bisa tetap menjadi ibu, menjemput si sulung sekolah, meng-ASI-hi si bungsu, menemani mereka belajar dan bermain, juga selalu bisa di rumah lebih dulu, menunggu kak Fach pulang kerja.

Tapi sepintas, beberapa kali aku berpikir bagaimana jika melanjutkan sekolah saja? Sepanjang dan seluas apapun memikirkannya, jawaban akhirnya selalu “tidak”. Aku merasa, menjadi apapun, dengan karir seterang apapun, tidak ada artinya saat aku tidak bisa jadi ibu yang setiap hari bisa dekat dengan anak-anak. Adakah sekolah yang bisa membuatku tidak sibuk? Setelah sekolah selesai apa aku bisa jadi dokter yang punya waktu banyak dengan anak-anak? Jawabannya jelas tidak. Dalam kepalaku aku berpikir bahwa melanjutkan sekolah artinya aku harus menukar waktu bersama anak-anak. 
Apa yang aku cari dengan sekolah? Sejujurnya, aku belum menemukan alasan untuk melanjutkan sekolah.
Iya memang, pendapatan seorang dokter setelah sekolah akan jauh lebih besar, tapi bukan itu yang aku cari. Keberkahan tidak selalu ada dalam keberlimpahan.

Jadi bisa saja aku berhenti jadi dokter puskesmas saat aku menemukan jalan untuk sekolah tanpa harus menukar kedekatan dengan anak-anak. Tapi apa bisa menemukan jalan seperti itu? Entahlah, kalau ada akan kupilih jalannya satu, tapi sepertinya probabilitasnya kecil, tapi Allah Mahatahu tentang besok dan lusa, Allah selalu memiliki skenario terbaik-Nya.

*